Di zaman ketika mesin mulai memahami bahasa manusia dan komputer mampu membaca emosi dari wajah, pertanyaan tentang “kemajuan” dan “kemunduran” tak lagi sederhana. Pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia, mulai menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam sistem layanan publik: dari administrasi kependudukan, kesehatan, hingga penegakan hukum. Namun, di balik cahaya inovasi itu, ada bayangan panjang yang perlu kita renungkan.
AI menawarkan efisiensi dan kecepatan — dua hal yang sering gagal dijaga oleh birokrasi manusia. Ia tidak mengenal lelah, tidak mengeluh, dan tidak berkompromi dengan waktu. Tapi di sanalah bahaya tersembunyi: AI tidak memiliki hati, tidak punya intuisi, dan tidak tahu makna dari empati. Ketika keputusan publik diserahkan sepenuhnya pada algoritma, maka negara berisiko kehilangan wajah manusianya.Bayangkan seorang ibu yang datang ke kantor pelayanan sosial dengan hati cemas, berharap bantuan untuk anaknya yang sakit. Sistem AI membaca data, menimbang angka, dan menolak permohonan karena tidak memenuhi skor tertentu. Bagi mesin, itu efisiensi; bagi manusia, itu keputusasaan. Di sinilah garis pemisah itu berdiri — antara kecepatan dan kasih sayang, antara logika dan nurani.
Kita hidup di masa di mana teknologi berusaha meniru ciptaan Tuhan: membuat mesin yang berpikir, berbicara, bahkan mencipta. Namun, secerdas apa pun mesin, ia tak pernah punya jiwa. Ia tak mampu berdoa, tak mengenal sabar, tak bisa menangis karena empati. Manusia, dengan segala kelemahannya, justru menjadi makhluk paling sempurna karena ia mampu mencintai tanpa alasan, dan memaafkan tanpa perintah.
Dalam perspektif sains modern, AI memang mampu menganalisis data lebih cepat dari otak manusia. Tapi dalam perspektif kemanusiaan, keputusan terbaik sering lahir bukan dari analisis, melainkan dari hati yang bersih. Mesin bisa membaca pola, tapi tidak bisa membaca air mata. Ia bisa menghitung risiko, tapi tidak bisa menakar harapan.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
*Innamā bu‘itstu li utammima makārimal akhlāq*
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Jika AI menjadi bagian dari sistem hidup manusia, maka nilai moral harus menjadi pelananya. Tanpa pelana akhlak, kuda teknologi akan liar dan menyeret manusia ke jurang yang ia buat sendiri. Kemajuan sejati bukanlah ketika mesin menggantikan manusia, tetapi ketika manusia mampu menjinakkan mesin dengan jiwanya.
Era digital bukan akhir dari kemanusiaan, melainkan ujian baru bagi jiwa kita. Apakah kita masih mampu mendengarkan suara hati di tengah kebisingan algoritma? Apakah keputusan publik masih berpihak pada nurani, bukan pada data semata?
Maka biarlah teknologi menjadi alat, bukan tuan. Biarlah AI menjadi pembantu, bukan pengganti. Karena sehebat apa pun kecerdasan buatan, ia tetap tak akan pernah menandingi sinar kecil yang bersemayam di dada manusia — yang disebut hati nurani.

Posting Komentar untuk "Layanan Publik Pakai AI; Kemajuan atau Kemunduran?"
Komentar tetap pakai ADAB!
Posting Komentar