Indonesia kembali tercatat dalam lembar sejarahnya. Bukan karena prestasi gemilang, melainkan karena gelombang amarah rakyat yang meledak seperti api yang lama tersimpan. Rumah mewah seorang anggota DPR RI, Ahmad Sahroni, dijarah oleh ratusan massa yang datang bagai ombak di malam badai. Mobil-mobil mewah, barang pribadi, hingga sudut-sudut rumah yang mestinya menjadi tempat perlindungan, luluh lantak oleh kekecewaan yang tak lagi bisa dibendung.
Di tengah puing kejadian, muncul suara dari pemilik rumah. “Saya Ahmad Sahroni. Saya tidak menerima penjarahan ini, dan saya akan menempuh jalur hukum.” Begitu pernyataan yang disiarkan lewat akun media sosial yang diyakini resmi miliknya. Ada nada tegas, ada ancaman hukum, tapi juga terselip ratapan lirih: “Ya Allah, kenapa sampai seperti ini?”
Gelombang Amarah
Apa yang membuat rakyat berani melangkah sejauh itu? Jawabannya bukan sesederhana “menjarah”. Itu adalah letupan dari luka lama yang menumpuk. Ucapan-ucapan pejabat yang dianggap merendahkan, gaya hidup yang tampak jauh dari realitas rakyat kecil, serta janji-janji yang dianggap tak ditepati.
Hari itu, rakyat tak datang dengan wajah ramah. Mereka datang dengan kekecewaan yang mengeras menjadi keberanian. Dari puluhan, lalu ratusan, mereka masuk, menjarah, seolah ingin menunjukkan: “Kami sudah tak tahan lagi.”
Politik yang Retak
Dampak dari peristiwa ini pun mengguncang partai politik. Partai NasDem, tempat Sahroni bernaung, segera mengambil keputusan: menonaktifkan kadernya, mengikuti jejak sejumlah politisi lain yang juga terjerat kontroversi. Di sisi lain, kabar burung menyebut Sahroni sudah menuju Singapura, menambah bara spekulasi publik tentang niat sebenarnya sang politisi.
Langkah ini membuat rakyat semakin lantang: apakah pejabat hanya akan lari ketika krisis datang?
Suara Peringatan
Di tengah hiruk pikuk, ada suara yang mencoba menenangkan. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengingatkan bahwa melampiaskan amarah dengan cara membakar dan merusak justru merugikan rakyat sendiri. Biaya renovasi gedung DPRD yang terbakar, mobil dinas yang hangus, semuanya akan ditarik dari anggaran rakyat.
“Orang kaya bisa pergi ke luar negeri dengan uang mereka. Tapi rakyat kecil akan menanggung akibat dari gedung yang hancur dan ekonomi yang lumpuh,” ujarnya.
Sebuah Cermin
Indonesia, tanah air yang kucinta, hari ini seperti bercermin pada luka sendiri. Di satu sisi, rakyat kecewa pada pemimpinnya. Di sisi lain, hukum tetap berdiri mengatakan penjarahan tak pernah dibenarkan. Pertemuan keduanya adalah badai yang mengguncang ibu pertiwi.
Kita harus bertanya: apa yang sebenarnya terjadi dengan negeriku ini? Mengapa hubungan rakyat dan wakilnya semakin renggang, penuh kecurigaan dan dendam?
Teruntuk Kita Semua
Sejarah mencatat, negeri ini pernah berdiri kokoh di atas gotong royong. Kini, rasa itu seperti retak, diganti dengan rasa saling curiga. Namun, badai tak pernah selamanya. Setelah gelap, selalu ada fajar.
Indonesia masih punya harapan, jika pejabat berani merendahkan hati, jika rakyat mau menyuarakan aspirasi tanpa merusak, dan jika kita semua sadar: negeri ini bukan milik segelintir, tapi milik bersama.
Indonesia, bangkitlah. Jangan biarkan amarah jadi warisan, biarlah persatuan yang kembali kita tegakkan.
Posting Komentar untuk "APA SEBENARNYA YANG TERJADI? INDONESIAKU!"
Komentar tetap pakai ADAB!
Posting Komentar